Surat untuk Mantan
Padamu yang membuatku
mencintai hujan,
Entah sudah berapa ribu
rintik yang tak lagi kuhitung, sejak aku ingin berhenti dan mengikuti lelah
untuk tak lagi membiarkan bayangmu hidup dalam benakku. Dan aku ingin lupa setelah itu.
Hingga kamu kirim pesan
itu. Disaat yang sungguh tepat, ya, tepat untuk membangunkan bayangmu yang
ternyata hanya tertidur dalam benakku.
Kamu paham betul dimana
kelemahanku.
Percakapan singkat kala
hujan sore itu, menyapa memori yang sudah beku hampir lima tahun. Dan tentu
membelai rindu yang terpendam. Andai aku sedang menatapmu sekarang, kamu paham
betul apa maksudku.
Kamu dan aku yang begitu singkat, dengan memori-memori
langka yang tak kalah singkatnya, justru semakin mahal akan makna. Mengapa
harus kamu?
Kamu paham betul dimana
kelemahanku.
Kamu paham betul
bagaimana aku.
Aku tak perlu repot
mengatur cara tertawaku. Aku tak perlu repot mengatur cara berpakaianku. Aku tak
perlu repot memilih potongan rambut apa yang cocok denganku. Karena kamu
membiarkan aku membentuk diriku sendiri.
Kamu tahu dengan siapa
aku berteman. Kamu tahu dengan siapa aku pernah menjalin hubungan cinta. Kamu tahu
apa yang aku suka. Kamu tahu apa yang tidak aku suka. Kamu tahu. Karena aku pun
tak pernah tahu kapan kamu mencari tahu tentang semua hal itu.
Kamu paham betul dimana
kelemahanku.
Perasaan itu terus berputar
ketika kamu datang disaat yang sungguh tepat, untuk membangunkan bayangmu yang
ternyata hanya tertidur dalam benakku. Hilang. Datang. Hilang. Datang.
Ketika hilang, aku
melihatmu sebagai sosok impian yang diimpikan para wanita dan aku adalah wanita
kesekian yang mundur karena tidak masuk dalam kriteriamu.
Ketika datang, kamu
adalah harapan terbesarku. Aku melihatmu sebagai sosok pria yang berdiri
mengenakan pakaian berwarna sama denganku, berdiri tepat di samping kananku di
atas panggung rendah yang biasa disebut pelaminan.
Mengapa kamu sering
kali hadir disaat yang sungguh tepat? Mengapa kamu membiarkan aku punya harapan
yang besar padamu? Mengapa kamu timbul-tenggelamkan perasaanmu? Mengapa kamu
terus hadir sebagai sosok yang tak pernah bisa kubenci?
Aku yang tak mengerti
apa maksudmu itu, berusaha menikmatinya.
Menahan air mata hingga
mengering dan membuatku rindu untuk menangis. Menyapa memori-memori yang bisa
kuhitung dengan jari tanganku. Menanamkan dalam-dalam dari setiap kalimatmu yang
menguatkanku ketika jatuh. Menghubungimu untuk sekedar menyampaikan rasa rindu
meski kutahu bahwa aku tak akan menerima kembalinya. Bicara padamu yang
berbentuk kertas tipis berwarna dengan senyummu di dalamnya untuk sekedar
mengingat bagaimana rupamu dulu. Dan menelusuri tentang peristiwa penting apa
yang sedang terjadi padamu. Itulah usahaku (kamu pun pasti sudah menduganya) untuk
menikmati kondisi hidup bertahun tanpa kepastian darimu.
Tahun*
Tahun
adalah temanku dalam mencintaimu.
Tahun
yang mendukung setiap detir napasku yang kuhabiskan untukmu.
Tahun
adalah saksi di antara kisah kita yang begitu singkat dan kisahku dalam
menghabiskan waktu untukmu
Tahun
adalah retetan detik yang mengeluh ingin dibebaskan.
Detik-detik
yang terperangkap dalam rindu yang tak kunjung terjamah olehmu.
Tahun
adalah kenangan tentang kisah kita yang egois.
Sama
sekali tak ingin dikenang.
Harapannya
terlampau besar untuk bisa kembali padamu.
Tahun
adalah degupku yang lelah.
Sekian
waktunya kuberikan untukmu dan selama itulah kamu tak hadir lagi.
Kini, aku sudah tak tega dengan tahun. Mundur adalah
jembatan yang sudah kulewati agar tahun tidak lagi tersiksa, agar tahun tidak
lagi terombang-ambing ketidakpastian. Menunggumu merupakan hal yang membuatku
bahagia, bahagia dalam warna abu-abu. Dan abu-abu itu yang membuat tahun sendu.
Aku ingin tahunku kembali, sama seperti tahun dahulu
sebelum kamu hadir. Dapatkah aku memohon itu padamu?
-tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara
*pernah di-posting dengan judul yang sama pada Oktober 2013
Komentar
Posting Komentar