Jujur, baru pertama kali ini gue naik motor (dibonceng) dari Bandung ke Bogor. Perjalanan awal dari Bandung, gue sama sekali gak tahu jalan. Dari kosan gue, tiba-tiba gue nyampe jalan tembusan Marantha dengan kepolosan gue menunjukkan jalan. Alhamdullilah gak nyasar. Awal yang baik :) Perjalanan selanjutnya, mencari daerah Cimindi. Sempat hampir nyasar karena gengsi nanya (gaya banget gue!) dan akhirnya nanya juga sama orang lain (mas-mas yang baru buka toko kayunya, makasih mas :)). Kadir (kakak gue dari Bogor yang boncengin gue) baru pertama kali juga ke Bandung pake motor (pada hari sebelumnya). Dia sempat nyasar di Bandung. Tetapi untuk perjalanan berikutnya setelah Cimindi, dia yang lebih tahu (walau sempat nyasar dikit di Cimahi karena dia gak tahu jalan) dan perjalanan sudah agak lebih tenang setelah tiba di Padalarang (setelah makan pagi dulu di Cimamere). Well, ternyata perjalanan di Padalarang itu ASIK! (asli!) Jalan yang tidak terlalu ra
Beberapa halaman ini akan menjelaskan jejak yang kita ukir dan jejak itu sudah dipastikan belum selesai. Tapak demi setapak jalan sedang kita bangun. Namun saat ini, kita sedang berpaku dengan jenuh. Kita berpijak dalam pijakan berbeda. Dan saat itu, kamu memilih lebih senang berbelok dan membiarkan aku berdiam ditempat biasa kita selalu ada, berdua. Mungkin hampir setahun sudah waktu mengiringi pertemuan ini. Anak ilalang. Ingatkah kamu pada percikan panggilan yang selalu kamu lontarkan pada masa itu? Masa saat berdampingan dengan sang maya. Mencarimu saat itu berarti menusuri jejak sang maya. Sempat terpikir, kamu termasuk gerombolan cowok genit dengan senjata api mereka: gombalan. Dan pikiran itu, SALAH. Maaf soal hal ini. Sang maya terkadang dicampuri dengan hitamnya dusta. Dan kamu adalah warna putihnya. Beberapa waktu menusuri, kamu mulai menjadi heorin. Tak bisa lepas bila sebuah kaleng anik sudah kunyalakan. Detik menjadi semakin berarti. Aku yang menjadi sela
“Gambar siapa ini?” Pacar saya menunjuk sebuah gambar kecil yang dibuat oleh teman saya. Dalam kertas kecil yang biasanya dipakai untuk pembatas buku itu tertulis nama saya dan dibawahnya tepat gambar yang menurut teman saya, itu saya. “Sini gue gambar lagi. Mana kertasnya?” Namun sebelum saya berhasil memberikannya kertas, pacar saya sudah menemukannya lebih dulu. Kertas kotak berwarna putih yang biasanya tertempel di atas meja kayu pendek. Tak lama kemudian, sudah ada seorang anak perempuan kecil berkuncir dua yang sedang tersenyum dan matanya bertuliskan “Ilalang”. Rasanya sempat merasa aneh karena tidak ada matanya. Namun melihat pacar saya begitu gembira memandang seorang anak perempuan kecil itu, saya jadi ikut gembira. “Ini akan berarti.” Kalimat ambigu yang rasanya saya masih sulit untuk mencerna kalimat itu tanpa melihat raut gembira darinya. Ilalang. Nama panggilan yang pertama kali terlontar oleh pacar saya ketika kami pertama kali kenal. Singkat saat itu, saya d
Komentar
Posting Komentar