Surat untuk Adam* (2)

Dear  Adam* (kamu yang membuatku berpikir keras hanya untuk sms),
           
Jumat, 29 April. Hari itu kampus sepi. Bagaimana tidak. Aku baru saja keluar kelas dengan genggaman makanan ditangan. Panas. Bersama Nia, aku berjalan menyusuri lorong dan kemudian melihat tempat nongkrong kamu dari jauh. Sepi. Terlihat beberapa orang yang sepertinya lebih senior. Seketika, aku yakin kamu tak ada di sana. Sesaat setelah aku dan Nia membeli makan, kami menikmati hari di halte depan kampus. Jalan sepi. Dan diujung pandangan, terlihat beberapa mahasiswa sibuk membuka Koran lalu membuka sepatu mereka. Subhanallah.. Mereka ternyata mau shalat jumat. Bayangkan, gang sempit tempat mesjid kecil paling depan kampus itu penuh dengan makhluk kesayangan Allah yang niat shalat jumat. Di pinggir jalan atau di gang sempit pun tak masalah. Aku membayangkan kamu ada di antara mereka, ganteng.
            Aku menunggu. Sambil asik menikmati makan, aku menunggu bubarnya jumatan. Aku berharap bisa langsung melihatmu kemudian menyapamu dan memulai obrolan. Tak sabar. Dan beberapa saat setelah bubar, jalan kembali normal, kamu tak ada. Mungkin hari ini memang tak akan bertemu dulu. Percikan semangat mendadak pudar. Aku kembali masuk ke kampus dengan niat ke toilet. Aku dan Nia sedang dalam perbincangan menarik. Tiba-tiba aku melihat sosok berkemeja kotak-kotak biru dengan tas ransel hitam yang dibawanya. Itu kamu, ganteng. Aku terpaku (selalu). Mendadak darah mengalir deras ke kepala.
            “Hey, Adam*! Mau kemana?”
Jujur, aku sebenarnya tak berani berteriak seperti itu padamu. Aku memaksa. Meski degup jantung ini kencang sekali disertai keringat ditelapak tangan. Aku SENANG! Portal dekat kampus menjadi saksi bisu.
            “Kemana kamu kemarin sampai dicariin gitu?”
Aku sebenarnya bingung mau memulai topik apa. Yang tersirat hanya mengenai cerita kamu yang seolah hilang sehingga teman kamu yang sudah kuanggap sebagai kakakku itu bercerita tentang keresahannya padamu. Kamu kemana, ganteng? Ada apa? Aku bisa merasakan rasa kehilangan dari ibumu. Khawatir. Kamu bisa cerita padaku, ganteng. Jangan rusak dirimu sendiri. Ingat, masih ada yang begitu sayang padamu (salah satunya kamu pasti tahu). Kamu itu masih sangat berarti, ganteng!
            “Mau kemana, Sekar?”
Aku yakin, kamu melihat polesan make up dimataku. Matamu tak tertuju pada yang lain. Dan hal ini pun terbukti dengan isi sms kamu, ganteng. Maaf. Saat memakai make up, aku merasakan bukan diriku. Aku sendiri canggung. Aku tetap aku, ganteng. Setelah itu dan hingga detik ini, aku tahu bahwa kamu begitu ramah dan perhatian. Aku sukaaa!
            Tak sabar menunggu hari Kamis, ganteng.

*nama samaran

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bandung-Bogor Selama Tiga Jam

Untuk Seseorang dalam Senja Itu

Untuk Ilalang