Surat untuk Debu* (1)

Dear Debu*,
                “Gue sih bodo.” Kalimat itu sungguh bisa mematikan aku. Pernah iseng membiarkan orang lain yang mempraktekkan kalimat ini. Sayangnya, jauh sekali berbeda. Tak ada yang bisa menandingi nada suaramu itu, Debu*. Kenapa harus debu?
                “Debu itu kan susah ngumpulinnya, butuh proses.” Jawaban yang PAS, Debu*. Terima kasih yaa! Aku bisa mengenal filosofi baru mengenai debu. Unik. Aku sendiri tidak bisa menerka apabila ternyata kamu mengukirnya sedemikian rupa sehingga muncul jawaban PAS itu. Padahal tadinya menurutku, debu itu mudah hilang, mudah terbang, mudah pergi, dan mudah sekali terbawa angin kemana pun angin pergi. Debu tidak bisa digenggam lama. Debu hanya singgah. Debu pasti pergi seketika hembusan napas terurai. Itulah pikiranku tentang debu. Dan jawabanmu sama sekali berbeda, Debu*. Sungguh diluar ekspetasi. Haha.
                Ini surat perdanaku untukmu. Deg-degan. Hihi. Mengapa harus merasakan demikian? Rasa yang sulit untuk dirasakan. Kadang aku tak ingin merasakan ini apabila mengingat nada datarmu itu. Haha. Dibalik semua itu, ada satu hal yang membuat kamu tak terganti, Debu*. Kamu yang berkharisma. Terpancar dari suaramu.
                “Gue sih bodo.” Aku tahu betul jawabanmu itu, Debu*. Haha.
                Dan surat ini sudah kutitipkan lebih dulu pada angin agar kamu bisa mendengarnya dengan jelas tanpa harus terhalang sebuah jarak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bandung-Bogor Selama Tiga Jam

Untuk Seseorang dalam Senja Itu

Untuk Ilalang