Si Hati Sepi
Hampir dua tahun lalu, kamar kost
saya sempat terlalu manis sehingga banyak semut yang tak ini beranjak dari
kamar saya. Sebagian tim hitam sedang, sebagian lagi tim merah kecil. Sebenarnya
kami bisa sangat harmonis jika saja mereka tidak memiliki rasa ingin tahu yang
begitu tinggi terhadap semua yang saya makan.
Saya sungguh tidak bisa
meninggalkan sepercik saja dari apa yang saya makan. Dalam hitungan detik, tim
hitam sudah berstrategi dan berkumpul. Meskipun begitu, tim hitam masih tak
seburuk tim merah. Bukan soal warna atau ukurannya. Ini soal kehadirannya. Tim hitam
mudah diketahui kehadirannya karena rasa ingin tahu mereka terhadap apa yang
saya makan itu terlihat jelas dari perilaku mereka. Berstrategi dan berkumpul. Tim
merah tidak begitu. Tim merah sulit sekali ditebak perilakunya. Tim merah tidak
terlalu antusias dengan makanan yang saya makan, mungkin karena sudah ada tim
hitam yang lebih dulu. Namun kehadiran tim merah tak terprediksi. Inilah dimulainya
keresahan saya.
Suatu waktu, saya sedang
bersandar pada jendela. Sekedar menikmati sejuknya hari itu. Tak lama, beberapa
anggota tima merah datang dan merayapi tangan saya. Entah apa yang mereka cari
dan mereka pikirkan. Saya sungguh tidak semanis yang mereka impikan karena saya
mandi dengan sabun bukan gula. Saya pun tidak sedang memakan sesuatu. Perilaku lainnya,
ketika saya sedang mengetik, tiba-tiba beberapa anggota tim merah menyapa saya
di antara keyboard. Saya hampir
mejilat keyboard yang saya pikir memang
manis sehingga anggota tim merah begitu ramah pada saya. Ternyata tidak. Entah apa
yang tim merah cari. Hobi mereka merayapi dinding. Mungkin ingin berkenalan
dengan penghuni lain, seperti cicak. Entahlah. Ukuran mereka yang jauh lebih
kecil dibanding tim hitam, membuat saya membeli kapur pengusir semut. Maafkan saya,
tim merah.
Keresahan saya semakin meraja
ketika tim merah semakin ramah dan menyapa saya pada hampir setiap sudut
kamar. Mereka mungkin tak merasa bahwa
kehadirannya menggangu saya. Namun cara meraka merayap ketika saya tidur, itu
harus menyadarkan mereka bahwa mereka menggangu. Akhirnya saya membuat gambar-gambar
di dinding dari kapur semut itu. Kemampuan menggambar saya yang jauh dari
sempurna, membuat para gambar lebih terlihat seperti hasil karya coretan anak
TK. Ya, setidaknya kamar saya jadi lebih indah tanpa para tim.
Beberapa hari, sepertinya para
tim sudah lengah dan tidak tercium lagi hadirnya di kamar. Setelah kepergian tim
hitam dan tim merah yang menggembirakan itu, saya hapus sebagian besar hasil
karya coretan anak TK itu. Kemudian tersisa satu hati pada sisi yang
bersebelahan dengan pintu kamar. Satu hati itu terlihat kuat dalam sepinya. Tanpa
ada ukiran atau gambar lain seperti di sisi lain kamar. Mungkin hati itu sedang
mencari pewarna hidupnya hingga ia bertahan dalam dekap sunyi dinding kamar di
tengah keramaian.
#CeritadariKamar
Komentar
Posting Komentar